Kalau dalam Tradisi Chinese, ada kisah Chang E, kelinci bulannya dan Jendral Tian Feng, dalam Buddhadharma, kisah Jataka, juga ada cerita tentang kelinci di bulan.
Sasa Jataka
Kisah ini dituangkan dalam bentuk relief pada candi
Pada suatu peristiwa, Sang Bodhisattva dilahirkan sebagai seekor kelinci. Ia berkawan dengan seekor kera, seekor serigala, dan seekor berang-berang. Mereka hidup berbahagia dalam sebuah hutan; selalu bersama, pergi kian kemari untuk mencari makan. Di antara keempat sekawan itu, kelincilah yang paling pandai.
Sepuluh hari sekali mereka berkumpul pada tempat yang telah ditentukan untuk membicarakan suatu hal. Kelinci menjadi juru nasehat yang selalu menganjurkan agar mereka berbuat baik, membantu sesama makhluk atau memberi sedekah dan berbuat kebajikan pada hari-hari suci.
Pada suatu malam, menjelang bulan purnama, berkatalah sang kelinci, “kawan-kawan, besok adalah bulan purnama, marilah kita bersama-sama merenungkan Sang Ajaran.” (Yang dimaksud adalah Ajaran Atha Sila, yang biasanya direnungkan pada hari Uposattha, setiap tanggal 15 bulan lunar di mana pada malam harinya bulan berbentuk bulat penuh). Jika ada seseorang yang datang meminta sesuatu dari kita, harus kita berikan apa yang kita miliki. Dana yang dikerjakan dengan Sila adalah sangat berjasa."
Kera, serigala, dan berang-berang menyatakan persetujuan penuh dan masing-masing berkemas untuk keesokan malamnya. Berang-berang mendapat beberapa ekor ikan pada dasar sungai yang kering. Serigala menyediakan air susu asam, sedangkan kera mendapatkan mangga manis.
Pada malam purnama keesokan harinya, mereka berkumpul lagi dan dengan khidmat bersama-sama merenungkan Sang Ajaran. Kelinci yang tidak membawa persediaan makanan, berpikir dengan ikhlas akan menyerahkan dagingnya sendiri apabila diminta untuk dimakan.
Jika di atas bumi ini ada seseorang yang sangat tulus hatinya, maka singgasana Sang Sakka Mahadewa seketika menjadi panas. Pada malam itu pula, tahta Sang Sakka seolah-olah terbakar disebabkan oleh kesucian kelinci yang dengan ikhlas bersedia mengorbankan raganya sendiri. Sang Sakka mengarahkan penglihatan gaibnya di atas bumi dan segera menemukan jawabannya.
Untuk menguji ketulusan hati si kelinci, maka Sang Sakka menjelma sebagai seorang Bhramana yang datang meminta-minta. Mula-mula didatangilah berang-berang yagn bertanya, “Brahmana yang berbudi, apa ada gerangan Tuan datang kemari?".
“Oh, kawan yang baik, jika ada sesuatu yang dapat kami makan, kami akan ikut pula merenungkan Ajaran seperti Tuan.” Berang-berang senang sekali mendengarkan hal itu dan seketika itu pula menawarkan ikan-ikannya. Tetapi Sang Sakka menolak dengan halus dan berterima kasih dengan alasan bahwa hari masih siang.
Demikianlah pula berturut-turut ia mengucapkan terima kasih dan menolak pemberian air susu dari serigala dan buah mangga yang manis dari kera. Akhirnya didatangilah si kelinci dan kembali Sakka meminta sesuatu untuk dimakan. Si kelinci sangat besar hatinya, karena kesempatan yang ditunggu-tunggu telah datang.
Maka ujarnya dengan riang, “Oh, Brahmana yang berbudi, adalah baik hati Tuan yang sudi menerima makanan dari kami dan sudi pula merenungkan Ajaran-ajaran bersama kami. Akan kami sajikan apa yang belum pernah kami berikan. Silahkan mengumpulkan kayu kabar dan membuat api; kami akan melompat ke dalamnya dan mempersembahkan hidup kami kepada Tuan. Jika daging kami telah masak, silahkan mengambil dan memakannya agar Tuan dapat pula merenungkan Ajaran.”
Seperti yang telah diminta, dengan kekuatan gaibnya Sang Sakka mengumpulkan kayu bakar dan membuat api.
Untuk menghargai jasa tulus dan ikhlas itu, dan untuk menyiarkan hal itu kepada seluruh umat, maka Sang Sakka memahat gambar kelinci pada bulan yang memutari bumi hingga saat ini masih dapat kita lihat.
(Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi 80)
"Inilah cara untuk menunjukkan kepadamu kehendak baikku.
Kini terpenuhilah harapanku dan nikmatilah dagingku.
Engkau harus tahu, wahai brahmana mulia,
bahwa aku telah larut dalam keinginan untuk memberi.
Kepadamu aku telah menemukan tamu yang tepat,
hatiku tak menganggap adanya cara lain.
Kesempatan untuk berdana seperti ini sungguh tak mudah didapat.
Jangan biarkan pemberianku sia-sia; itu tergantung padamu."
Setelah memberikan penghormatan dan penghargaan kepada tamu tersebut,
kelinci melemparkan diri ke dalam api,
seperti orang miskin yang tiba-tiba menemukan gundukan harta,
atau seperti angsa menyelam ke dalam kolam yang tertutup teratai.
Sasa Jataka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar