Minggu, 19 Juli 2009

SRESHTHI JATAKA
KELAHIRANNYA SEBAGAI PEMIMPIN SUKU

Bahkan meskipun di hadapan bencana yang mengancam, orang yang baik tak akan berpaling dari melakukan amal dana. Siapakah yang kemudian ketika aman dan bahagia, tak mau beramal dana?


Pads suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, ia lahir sebagai putra dari sebuah keluarga yang baik. Diberkati dengan semangat yang tiada terhingga serta keberuntungan, ia menjadi pemimpin sukunya. la memiliki tanah perkebunan yang luas, dan berkat kejujuran serta kepandaiannya dalam berdagang, ia mendapat penghormatan yang tinggi dari semua orang. Singkatnya, ia mempelajari berbagai cabang pengetahuan serta keterampilan, memurnikan pikirannya, menciptakan kemuliaan bersama dengan kemuliaannya, memberi kehormatan baginya bahkan oleh sang raja.

Menekuni ajaran tentang dana, ia terus-menerus berusaha berbagi kekayaan yang dimilikinya bersama-sama masyarakat. Orang miskin memuji-mujinya hingga kemana-mana, menyebarluaskan reputasinya sebagai seorang dermawan ke segala penjuru; mereka sangat mempercayainya, sehingga mau mengutarakan apa saja yang mereka inginkan dengan leluasa kepadanya. Bagi dirinya, yang tak terpengaruh oleh ketamakan, ia tidak lagi mempertahankan hartanya baik untuk kesenangannya sendiri, ataupun untuk menimbulkan pengaruh bagi orang lain karena ia merasa tak mungkin bagi dirinya melihat penderitaan apa pun tapi menolak untuk membantu.

Pada suatu hari, seorang pengemis yang merupakan seorang Pratyekabuddha di mana api pengetahuan telah membakar segala noda nafsunya, mendekati kediaman Bodhisattva. Saat itu keinginan pengemis tersebut hanyalah demi berkembangnya kebajikan Sang Bodhisattva, dan dengan maksud itu ia muncul di pintu gerbang tepat pada saat makan siang, tepat ketika Mahasattva baru saja mandi dan menghiasi dirinya, hendak duduk untuk bersantap siang. Terdapat bermacam­-macam makanan dalam jumlah banyak yang telah dipersiapkan oleh juru masak terbaiknya, makanan-makanan yang rupa, aroma, rasa, bentuk serta segala sesuatunya menyenangkan. Pada siang yang tenang itu, sang pertapa berdiri di luar rumah tanpa dipersilahkan ataupun diusir, melihat dengan jelas dan tenang tak berapa jauh di hadapannya, tangannya yang bagaikan bunga padma memegang mangkok kayu pindapatra.

Ketika itu Mara, si jahat, tak tahan melihat Bodhisattva menikmati kesenangan dari memberi dana makanan. Bermaksud hendak menghalangi perbuatan berdananya, Mara menciptakan sebuah neraka yang sangat dalam, dengan lebar beberapa depa, yang menjadi pemisah antara si pengemis dengan gerbang pintunya. Di dalam neraka tersebut, tampak beratus-ratus orang di dalam kobaran api, mengeluarkan gemuruh yang mengerikan: Sungguh-sungguh merupakan pemandangan yang menakutkan.

Akan tetapi Bodhisattva, hanya melihat Pratyekabuddha, kemudian berkata dengan lembut kepada istrinya: "Pergilah, istriku, berilah orang suci itu makanan." Saat itu juga istrinya mendekati pintu dengan membawa sebuah tempayan penuh makanan yang sesuai bagi pengemis. Tetapi di dekat pintu, ia menengok ke arah neraka tersebut, merasakan ketakutan dan memekik histeris. Begitu takutnya hingga tenggorokannya terkunci saat Bodhisattva bertanya kepadanya apa yang terjadi, ia tergagap tak dapat berbicara.

Tak mau ada orang suci yang pergi dari rumahnya dengan tangan hampa, Bodhisattva tak menghiraukan ketakutan istrinya. Meraih tempayan makanan tersebut dengan tangannya sendiri, ketika akan melewati pintu ia juga melihat neraka yang mengerikan tersebut. Pada saat ia berdiri di situ, keheranan pada apa yang terjadi tersebut, Mara, si jahat, tiba-tiba menampakkan dirinya. Menyamar sebagai seorang dewa agung, Mara keluar dari tembok rumah dan melayang di udara, berbicara yang kedengarannya menyenangkan kepada Bodhisattva:

“Perumah tangga, lihatlah neraka Maharaurava ini, dari situ sungguh sangat sulit untuk membebaskan diri! Ini adalah neraka bagi mereka yang merasa senang terhadap pujian dari para pengemis, mereka yang diliputi nafsu jahat kemurahan hati, dan memberikan seluruh hartanya yang dikumpulkan dengan baik. Di sini mereka akan berdiam selama beribu-ribu tahun.

Harta adalah sebab yang membawa pemurnian bagi ketiga dunia. Jika seseorang memberikan hartanya, bagaimana mungkin ia tidak merusak Dharma? Barang siapa yang merusak harta ia merusak kebenaran. Tidak pantaskah orang yang menghancurkan Dharma, dengan menghancurkan harta, harus pergi ke alam neraka?

Dan neraka ini yang tampak seperti jilatan Narakantaka di tangga pintumu, akan menelanmu karena dosa-dosamu yang tiada terbilang akibat membagi-bagikan hartamu, yang menjadi akar dari segala Dharma. Sejak sekarang hentikan memberi dana, dengan begitu akan menahan kejatuhanmu yang langsung ke dalam jilatan kobaran api ini, berbagi nasib dengan pemberi dana makanan malang itu yang menggeliat kesakitan dan menangis tiada henti.

Kekayaan, sebaliknya, dari mereka, yang mengurangi kebiasaan buruknya memberi, akan mencapai alam para dewa! Bebaskan dirimu dari usaha beramal dana, yang menjadi rintangan kebahagiaan surgawi. Jalankan ketidakpedulian!"

Bodhisattva mengetahui bahwa orang yang mengatakan hal seperti ini pastilah orang yang jahat. "Ini pastilah rintangan kemurahan hatiku," pikirnya. Tetap gigih namun baik, dan sesuai kebajikan, ia menjawab:

"Pada intinya yang telah engkau tunjukkan kepadaku adalah jalan orang-orang jahat. Singkatnya, itu sesuai hingga para dewa harus menunjukkan belas kasihnya melalui perbuatan mereka serta kecakapannya dalam menolong makhluk lain. Bukankah lebih baik mencegah penyakit sebelum ia berjangkit, atau setidak-tidaknya menggunakan obat penawar segera setelah tanda-tanda pertama muncul. Mengingat bahwa jika penanganan yang salah akan membuat penyakitnya semakin berkembang, terlambat menggunakan obat penyembuh hanya akan menyebabkan bencana. Keinginanku untuk berdana telah tumbuh, ketakutanku, jauh melampaui jangkauan pertolongan – karena pikiranku kini tak dapat berpaling dari perbuatan memberi, mengabaikan nasihatmu sungguh suatu sikap yang tepat.

Mengingat bahwa ucapanmu menganggap kemurahan hati sebagai dosa dan harta sebagai kebenaran, aku khawatir kemampuan pemahaman manusiawiku yang lemah tak mampu memahaminya. Bagaimana bisa kekayaan tanpa kemurahan hati, dapat disebut sebagai jalan kebajikan? Katakan kepadaku, jika demikian kapan kekayaan akan membawa kebajikan? Seperti halnya harta karun yang terpendam, barangkali? Atau ketika telah dicuri oleh para pencuri jahat? Atau ketika hilang di dasar laut, atau ketika menjadi bahan bakar api?

Bahkan, dengan berkata bahwa para pemberi dana akan pergi ke neraka dan yang menerima akan pergi ke surga, engkau hanya membuat keinginanku untuk berdana semakin kuat. Semoga kata-kata itu benar adanya! Semoga mereka yang mengemis kepadaku langsung muncul di alam surga! Mengingat bahwa bukan demi kebahagiaanku sendiri aku berdana, tetapi demi kebahagiaan semua makhluk."

Kemudian Mara, si jahat, memeluk Bodhisattva, seperti sahabat karib mengucapkan sesuatu vang menyenangkan di telinganya: "Terserah padamu apakah kata-kataku bohong atau demi kebaikanmu. Lakukan yang kauinginkan. Bersyukur atau menyesal, Engkau tak akan cepat melupakanku."

Bodhisattva menjawab: "Pak, maafkan aku. Atas kemauanku sendiri aku akan menjatuhkan diri ke dalam api neraka yang berkobar dan merasakan jilatan apinya. Daripada memilih mengabaikan kebajikan para pengemis yang telah menunjukkan rasa percayanya pada diriku dengan datang mengemis kepadaku."

Sehingga Bodhisattva, bersandar pada kekuatan keberuntungan yang baik (yang sepenuhnya memahami dengan baik bahwa akibat sesungguhnya dari kemurahan hati bukanlah keburukan), melangkah menuju neraka yang terhampar di hadapannya. Dan dalam melakukannya, hatinya tak tersentuh oleh perasaan takut, dan kehendaknya untuk memberi jauh melampaui yang sebelumnya, mengabaikan pendapat maupun usul dari para sanak keluarga serta para pelayannya.

Berkat kekuatan kebajikan Bodhisattva, bunga padma bermekaran di tengah neraka tersebut; kuntum bunganya melambai-lambai seolah-­olah menertawakan Mara, membawa Mahasattva menyeberangi samudra api tersebut. Berdiri di hadapan Pratyekabuddha, perumah tangga mengisi mangkok pindapatra sang pertapa dengan makanan, sementara perasaan hatinya sendiri diliputi oleh kebahagiaan dan kesukacitaan.

Pratyekabuddha, memperlihatkan rasa puasnya, terbang tinggi ke angkasa, hujan turun dengan lebatnya, menyala dengan keagungan bagaikan awan yang terang oleh kilasan kilat. Kalah dan kecewa, Mara kehilangan kekuatannya. Tak sanggup menatap wajah Bodhisattva, ia lenyap bersama dengan nerakanya.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang baik tidak surut dari melakukan pemberian, bahkan meskipun berada dalam bahaya; lalu siapakah, yang berada dalam keadaan aman dan bahagia tak melaksanakan amal dana? Orang yang pemberani dan yang berhati mulia, tak akan berjalan melewati jalan yang salah, meskipun dalam ketakutan.

Sumber : http://asia.groups.yahoo.com/group/daunbodhiindonesia/message/480

Tidak ada komentar: