Rabu, 19 November 2008

Ada yang lebih murah nggak?

Setelah menunda ber-bulan², atas desakan Dokter THT dan orang² di sekitar yang sudah tak tahan lagi dengan kebudegannya, akhirnya Suseno memutuskan sudah saatnya dia membeli sebuat alat bantu pendengaran.
Hari Sabtu sore itu dia melenggang ke optik Melawai.
"Saya membutuhkan alat bantu pendengaran", katanya kepada sang gadis manis di belakang counter. "Ada model apa saja?"
"Oh, ada, Pak, ini ada model yang paling canggih. Model digital, tinggal diselipkan ke telinga, suara yang masuk akan disensor dan diproses secara digital sehingga tidak terlalu keras dan disesuaikan dengan level lemahnya pendengaran".
"Berapa harganya?" tanya Suseno si kikir.
"Harganya Rp 12 juta per pasang, pak. Tapi kita bisa beri discount 10%".
"Ada yang lebih murah nggak?"
"Ada, pak. Bagaimana dengan model "mold in the ear" ini? Memang belum memakai sistem digital, tapi bisa diselipkan ke kuping, dan tidak kelihatan jelas kalau sedang memakai alat pendengaran. Volumenya bisa disetel. Harganya hanya Rp 2.5 juta sepasang".
"Ada yang lebih murah lagi nggak?"
"Ada, pak. Ini model yang di luar telinga, dicantolkan ke daun telinga. Jadinya terlihat bahwa sedang memakai alat bantu dengar, dan rentan terhadap kemasukan air. Tapi harganya ekonomis dan terjangkau. Cukup Rp 750 ribu sepasang".
"Ada yang lebih murah lagi nggak?"
"Ada, pak, yang ini volumenya tidak bisa disetel bolak-balik. Hanya setel satu kali saja. Harganya Rp 300 ribu sepasang".
"Ada yang lebih murah lagi nggak?"
Setelah terdiam sebentar, si pelayan mengeluarkan sebuah alat mirip² earphones berbentuk kancing bertali. "Yang ini cukup Rp 3 ribu saja. Tinggal selipkan kancing ini ke dalam daun telinga, dan biarkan talinya berjuntai".
"Bagaimana cara kerjanya?" tanya Suseno.
"Untuk Rp 3 ribu, memang tak ada mekanisme apa² dari alat ini. Tapi jika orang melihat anda memakainya, mereka akan berbicara lebih keras".

Tidak ada komentar: