Selasa, 02 Februari 2010

Menundukkan Keangkuhan

Pada jaman dahulu, di kala Raja Brahmadata bertahta di Negeri Baranasi, Sang Bodhisatta terlahir pada suatu keluarga brahmana. Berkembang menjadi pemuda, belajar Weda dan ilmu pengetahuan lainnya di Kota Takkasila. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, ia memutuskan diri untuk ditahbiskan menjadi seorang Pertapa (Resi). Sang Resi amat rajin dalam berlatih bhavana hingga menguasai abhinna. Ia tinggal di hutan di kaki gunung Himalaya.

Pada suatu hari Sang Resi pergi mengembara keluar masuk hutan dan desa hingga akhirnya tiba di Kota Baranasi dan istirahat di taman kerajaan di pinggir kota. Pada pagi harinya, setelah memakai jubah dengan rapi, Sang Resi pergi menuju kota untuk menerima dana makanan dari penduduk kota. Di kota itulah Raja Brahmadata melihat Sang Resi yang membuatnya menaruh perhatian dan tertarik akan kharisma Sang Resi yang memancarkan kebijaksanaan.

Karena rasa ketertarikkannya itu, Raja memerintahkan seorang pengawal untuk mengundang Sang Resi ke istana. Pengawal segera menemui Sang Resi dan berkata: "Pertapa yang mulia, saya diutus oleh Baginda untuk mengundang Anda."

Sang Resi tercengang atas undangan itu, karena ia belum pernah menginjakkan kaki ke istana barang sekalipun. Ia mengira pengawal salah alamat.

"Wahai Pengawal, saya bukanlah seorang pertapa yang biasa masuk istana. Saya adalah seorang pertapa dari Gunung Himalaya. Anda tentu salah mengundang orang."

Pengawal pun kembali menghadap raja dan menyampaikan apa yang diucapkan pertapa.

"Saya tidak salah mengundang beliau. Katakan pada beliau. Bahwa Raja mengundang beliau ke istana," tegas raja pada pengawalnya.

Pengawal pun kembali menemui Sang Resi dan menegaskan undangan raja. Setelah jelas bahwa dirinyalah yang diundang, maka pertapa pun memenuhi undangan itu dan masuk ke istana dengan diantar oleh pengawal. Raja menghormat Sang Resi dan mempersilakan duduk di tempat yang telah disediakan. Tak lupa pula dihidangkannya makanan dan minuman yang lezat lezat. Sesudah penyambutan yang layak itu dilakukan, raja pun bertanya:

"Selama ini Sang Resi tinggal di mana?"

"Biasanya saya tinggal di hutan di kaki Gunung HimalĂ ya," jawab Sang Resi.

"Lalu, saat ini Sang Resi hendak pergi ke mana?" Tanya raja pula.

"Saya sedang mencari tempat untuk menghabiskan musim hujan yang segera akan tiba,"

"Kalau demikian halnya, saya mengundang Sang Resi untuk tinggal di taman kerajaan. Saya akan merasa senang bisa berdekatan dengan seorang pertapa."

Raja pun memerintahkan untuk membangun tempat tinggal dan sala yang layak di taman kerajaan bagi Sang Resi. Segala keperluan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kehidupan kepertapaan dipenuhi oleh raja.

Sejak saat itu, setiap hari Raja mengunjungi pertapa untuk berbicara tentang ilmu kebajikan dalam menjalani kehidupan. Raja merasa batinnya lebih tenang dan tenteram sejak keberadaan Sang Resi di dekatnya.

Namun, ada satu masalah yang sejak dulu raja tak mampu memecahkannya. Raja mempunyai seorang putera bernama Duttha Kumara. Sebagai seorang pemuda tanggung, pangeran yang satu ini mempunyai perangai yang amat jelek. Angkuh, sombong, jahat dan kasar. Raja, para menteri, keluarga serta pengasuhnya, tak satu pun yang mampu mengajar dan membawanya ke jalan yang baik.

Akhirnya, raja berpikir: "Saya akan membawa anak itu pada pertapa di taman kerajaan. Kiranya hanya beliau yang mampu mengajar pangeran."

Maka, raja pun mengajak pangeran menemui Sang Resi dan berbisik: "Sang Resi, anak saya ini mempunyai perangai yang tak terpuji. Tolong Sang Resi mendidiknya agar ia bisa berubah menjadi orang baik. Kami sudah tak mampu lagi menasehatinya. Sang Resi tentu mempunyai cara untuk itu."

Setelah merasa cukup dalam pertemuan itu, raja pun kembali ke istana meninggalkan putranya bersama Sang Resi.

Pada suatu pagi yang cerah, Sang Resi mengajak pangeran menikmati udara segar serta berjalan-jalan berkeliling taman kerajaan. Ketika Sang Resi melihat tunas kecil Pohon Sadau (Intaran), ia berhenti. Tunas Pohon Sadau itu baru mempunyai dua helai daun saja, masih kecil. Sang Resi memetik kedua helai daun itu dan diberikan pada Sang Pangeran sambil berkata:

"Coba Pangeran kunyah daun ini. Bagaimanakah rasanya?"

Sang Pangeran pun dengan acuh tak acuh menerima dan memasukkannya ke dalam mulut lalu mengunyahnya. Tak berapa lama ia mengunyah, tiba-tiba dimuntahkannya Daun Sadau itu serta meludah-ludah.

Melihat itu Sang Pertapa pun bertanya, "Bagaimana rasanya?"

"Aduh, daun ini rasanya amat pahit bagaikan racun yang amat jahat!" keluh Sang Pangeran. Kemudian melanjutkan, "Baru tumbuh sekecil ini sudah sedemikian pahitnya. Bagaimana pula kalau sudah besar. Tentu mampu membunuh dan menyusahkan banyak orang," sambil mencabut tunas kecil Pohon Sadau itu dan dibuangnya jauh-jauh.

"Benar, Pangeran. Baru tumbuh sebagai tunas kecil ini saja ia sudah pahit bukan kepalang. Bagaimana pula bila sudah tumbuh besar nanti. Tentu tak seorang pun menyukainya. Begitu pula dengan dirimu, Pangeran. Bila Engkau bersifat seperti Pohon Sadau ini, siapa pula yang akan menyukaimu. Semakin tumbuh besar dan dewasa, orang semakin tak menyukaimu. Rakyat pun tak bersedia mempunyai raja yang lalim yang tak mampu melindungi rakyatnya dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. Mereka tentu akan beramai-ramai mengusirmu seperti Engkau telah memuntahkan Daun Sadau itu dari mulutmu. Karenanya, sebelum terlambat, sebaiknya Engkau membuang sifat-sifat jelek dari dirimu. Persiapkan dirimu menjadi orang yang penuh welas asih dan bijaksana demi kebahagiaanmu serta kebahagiaan rakyatmu kelak."

Pangeran mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan menjadi sadar akan kekeliruannya. Sejak itu, ia pun banyak belajar dari Sang Resi, mempersiapkan diri untuk menggantikan ayahnya menjadi raja pada saatnya kelak.

Sumber : www.samaditthi.orr
Judul : Atthakatha Ekapanna Jataka, Ekanipata
Alih Bahasa : Hananto, edisi 2, Nov '00

Buletin Maya Indonesia, Dharma Manggala Edisi Agustus 2005

Tidak ada komentar: