Minggu, 25 Januari 2015

KISAH TENTANG KESABARAN

JATAKAMALA

Sikap yang senantiasa sabar dari mereka yang menjalankan kesabaran, menyebabkan tak ada yang tak sanggup untuk dialami.

Dalam salah satu kehidupannya yang lampau, Bodhisattva pada suatu ketika menjadi seorang pertapa. Ia telah melihat bahwa kehidupan rumah tangga penuh derita, dan ia juga tahu bahwa kehidupan yang demikian tidak sesuai bagi praktisi spiritual. Dikelilingi godaan, kehidupan rumah tangga mengarah ke jalan kebendaan serta kesenangan indriawi yang berujung pada hilangnya kerendahan hati, dan juga tujuan spiritual. Kehidupan seperti itu, akibat dari oleh pengaruh nafsu-nafsu pastilah membawa pada keinginan, kebencian, ketidaksabaran, kemarahan, kesombongan, kebanggaan diri dan kebencian.
Tetapi bagi orang yang menolak keduniawian, berbahagia hidup tanpa rumah dengan kedamaian dan kebebasannya dari keburukan kehidupan rumah tangga. Dengan pikiran yang demikian Mahasattva menjadi seorang pertapa yang dikenal berkat kekuatan kemauan, ketidakterikatan, keseimbangan, pengetahuan dan sila-silanya.

Karena ia senantiasa menyebarluaskan kesabaran, hidup dengan sikap sangat kuat dalam memegang sila dan ajaran Dharma; dari sudut pandang tersebut, dirinya lalu dipanggil sebagai Kshantivadin, "Yang Berpegang Pada Kesabaran". Biasanya mereka yang menunjukkan kecakapan dalam bidang seni atau mereka yang memiliki suatu tanda kekuatan fisik atau keistimewaan tertentu diberikan sebuah panggilan baru. Demikian pula halnya dengan pertapa ini, disebabkan oleh berlalunya waktu hingga hanya beberapa orang saja yang masih ingat nama aslinya. Dengan segera namanya yang asli dilupakan sepenuhnya, dimana-mana ia dikenal oleh setiap orang hanya dengan panggilan Kshantivadin. Dengan kehendaknya untuk menjadi perhiasan bagi umat manusia, dan juga dirinya, dengan kebajikan tersebut, sifat aslinya telah diwarnai oleh sikap kesabaran, membuatnya tak dapat menyakiti makhluk lain. Demikianlah ia kemudian dikenal sebagai seorang Muni. Ketenangannya yang tak tergoyahkan, kebajikannya dan ketabahannya yang besar meskipun berhadapan dengan kejahatan orang lain, berikut dengan pengajarannya yang baik, membantu menyebarluaskan ketenarannya ke segala penjuru.

Kshantivadin hidup di padang sabana di tengah hutan yang dikelilingi oleh telaga berair jernih berhiaskan bunga teratai putih dan biru. Keindahan di tempat sunyi itu, hamparan tersebut keindahannya bagaikan sebuah taman, menghasilkan bunga dan buah sepanjang tahun. Dengan kehadirannya, Mahasattva memberi tempat tersebut kesucian sebuah pertapaan, karena bagaimanapun ia membuat rumahnya, kemuliaan sebagai mahkluk agung telah membuat tempat tersebut menguntungkan, baik keindahannya maupun kesuciannya.
Mahasattva dihormati oleh para dewa hutan, juga oleh semua yang mencintai kebajikan dan menginginkan pembebasan. Makhluk-makhluk tersebut kadang-kadang mengunjunginya, bergembira pada kemuliannya, memperoleh kebajikan dari pergaulannya dengan orang suci. Ia akan mengajarkan pada mereka semua perilaku kesabaran, yang menyenangkan baik di hati maupun pikiran mereka.

Pada musim panas yang sangat menyengat, raja negeri tersebut hendak mendinginkan diri ke air jernih telaga di hutan itu. Disertai oleh para selirnya, raja berangkat menuju lokasi taman yang tenang serta sejuk tersebut, menambah keindahannya dengan lemah gemulainya para istrinya yang tak merasa malu.

Di halaman kecil di bawah anjang-anjang, di antara sebatang pohon yang tengah berbunga dengan telaga di mana bunga teratai bermekaran, sang raja bersenang-senang tanpa lelah menghabiskan waktu bersama para istrinya. Tertawa, raja melihat mereka berlari dari kejaran lebah yang tertarik bau parfumnya, karangan bunganya, dan bau harum arak. Karena raja melihatnya, sang istri, tidak tampak lelah memetiki bunga, menghiasi telinga mereka dengan kuntum bunga terbaik dan menaburi rambutnya dengan rontokan untaiannya.

Raja belum juga puas melihat keindahan yang sedang bermain. Dengan tersenyum, raja mengikuti setiap gerakan para wanita tersebut saat mereka berlari dari pohon yang satu ke pohon yang lain, mengelilingi bunga teratai maupun pohon yang tengah berbunga. Burung tekukur melengkingkan jeritannya, merak membentangkan ekornya, dengung suara binatang kepanasan, kesemuanya seperti sedang bercampur dengan tarian dan nyanyian para wanita. Ketika menggema suara panggilan tambur kerajaan, burung merak memekikkan rasa takutnya dan membentangkan ekornya yang lebar melingkar seolah seorang pemain sandiwara yang sedang melakukan persembahan kepada raja dengan cara yang penuh seni.
Setelah menikmati segala kesenangan taman hutan bersama para selirnya, setelah berolahraga yang memuaskan hatinya, sang raja, diikuti oleh perasaan mengantuk dan mabuk, berbaring di atas bantal permatanya, jatuh tertidur di bawah keteduhan hutan.

Melihat raja tertidur, karena bosan berada di tempat itu, istrinya mondar-mandir, melantunkan suara merdunya yang ditimpali oleh gemerincing suara perhiasannya. Tak dapat memenuhi kesukaannya pada hutan, ia semakin jauh, dikuasai oleh sifat liarnya.

Tidak menghiraukan keluhan para pelayan pembawa payung kerajaan yang mengikutinya, kipas kerajaan dan takhta kerajaan yang dihiasi dengan emas, wanita tersebut dengan bersemangat memetik segala bunga dan daun menarik dari setiap tumbuhan yang dapat diraihnya. Meskipun sang ratu sebenarnya sudah dihiasi dengan karangan bunga, tak ada kuntum bunga yang tertinggal, tiada pohon yang terlewatkan, tak ada bunga yang tersisa sepanjang jalan. Lama-lama, perjalanannya di hutan tersebut membawanya ke depat pertapaan Kshantivadin.

Ia merupakan seorang istri yang mengerti betul kekuatan dan kemuliaan hati sang pertapa, tapi mengingat tak ada yang menghalangi perempuan tersebut kalau-kalau raja mengganggunya. Permaisuri raja mendekati pertapa, tertarik oleh keluarbiasaan dan keindahan padang rumput, keluarbiasaan yang diperkuat oleh kekuatan spiritual sang pertapa. Larut dalam kegirangan, wanita tersebut menyusuri masuk ke dalam. Seketika ia melihat orang suci duduk bersila di bawah pohon, keagungannya sangat bercahaya dipandang, wajahnya memancarkan keseimbangan serta keagungan batinnya. Melalui praktek meditasi yang mendalam, indriawi sang pertapa telah dikalahkan dan terkendali dengan baik, bahkan ketika objek keterikatan datang mendekat. Dihiasi oleh kebaikan agung serta kebajikan tersebut, ia bagaikan penjelmaan Dharma sendiri.
Istri raja terpana oleh kecemerlangan orang yang duduk di bawah pohon, hatinya menjadi luluh. Penglihatannya pada Mahasattva cukup bagi dirinya untuk membuang kebanggaan serta keliarannya. Dengan tertegun ia duduk dengan rendah di harapan sang pertapa yang menyambut tamunya dengan cara dan kebajikan sebagaimana biasa, menjawab pertanyaannya dengan anugerah ajaran agama dan mengajarinya dengan cara di mana seorang wanita bisa memahaminya, menggunakan berbagai perumpamaan.

"Sekali kita memperoleh tubuh manusia, sekali kita lahir dengan kesadaran batin dan tubuh yang tanpa noda, jika kita lalu mengabaikan perbuatan baik setiap hari dalam hidup kita, kita benar-benar tak berguna. Bukankah kita semua menjadi objek kematian? Betapapun istimewanya kelahiran, wajah, umur, kekuatan atau kekayaan kita, kita tak akan dapat menikmati kebahagiaan dalam hidup yang akan datang hingga kita pertama-tama memurnikan diri kita melalui dana, sila dan kebajikan-kebajikan lainnya.

"Bahkan meskipun seseorang tak lahir mulia dan tak bernasib baik, dengan hanya menghindari kejahatan dan melakukan kebajikan, orang akan dapat dihampiri oleh setiap bentuk kebahagiaan, sebagaimana kekayaan laut yang memperoleh air dari sungai.

"Bagi orang yang lahir mulia, ketampanan, panjang umur dan diberkati kekuatan serta kekayaan, kebajikan adalah perhiasan yang terbaik. Sebagaimana kuntum bunga menghiasi pohon, dan sebagaimana kilat menghiasi awan hujan, seperti halnya telaga dihiasi oleh bunga padma dan kumuda, dan juga oleh lebah-lebah mabuk, demikian pula halnya makhluk hidup sempurna berkat perhiasan kebajikan. Tiada beda dengan untaian emas yang merupakan tanda bagi kekayaan.

"Keberuntungan manusia yang berbeda-beda, dalam kesehatan dan panjangnya usia, dalam kecantikannya, kekayaan dan kelahirannya dapat dibedakan ke dalam tiga golongan, hina, sedang, dan utama. Perbedaannya bukan karena pengaruh luar, bukan pula terjadi dengan sendirinya. Perbedaan yang demikian murni akibat perbuatannya sendiri yaitu karma. Mengingat bahwa hal ini merupakan hukum yang mendasari keberadaan manusia, dan mengingat lemahnya serta rapuhnya kehidupan, orang harus mengarahkan hatinya ke dalam perilaku yang benar, menghindari kejahatan. Cara yang demikian membawa pada kebahagiaan serta nama baik.

"Pikiran yang penuh kebencian adalah seperti api, membakar kebajikan sendiri serta orang lain disekitarnya. Jauhi segala perbuatan salah, kembangkan perbuatan yang dapat menjadi lawan dari perbuatan salah. Betapapun ganasnya api membakar, bila ia bertemu dengan sungai besar yang penuh dengan air tenang, ia pasti akan padam. Api yang membakar di dalam akan kehilangan kekuatannya ketika bertemu dengan ketidakterikatan pada diri sendiri.

"Berpaling dari keduniawian sungguh sangat baik. Siapapun yang mempraktikkan kesabaran akan dengan sendirinya menjauhi kejahatan serta permusuhan, karena yang menjadi penyebabnya telah dilenyapkan. Orang seperti itu akan mendorong persahabatan dimanapun dan menjadi objek penghormatan dan kecintaan. Pada akhirnya, akibat keterikatannya pada kebajikan, ia akan mencapai surga dengan mudah seolah ia berjalan ke depan pintunya sendiri.

"Bahkan, kebajikan berpaling dari keduniawian yang demikian dipandang sebagai diperoleh berkat pengembangan kebajikan tertinggi, tingkat tertinggi sifat baik. Itu adalah penyucian dosa tanpa menggunakan air, itu hanya akan menyebabkan kebahagiaan yang besar. Berpaling dari keduniawian adalah sangat menyenangkan orang yang baik, selalu mengabaikan penderitaan yang ditimbulkan oleh orang lain. Dengan berbagai macam kekayaan berpaling dari duniat tersebut juga dikenal sebagai kesabaran, menyikapinya dengan rasa kasihan, ia memberi kebajikan bagi dunia. Ia merupakan perhiasan bagi orang yang kuat, kekuatan pertapa, dijauhi oleh api kemarahan baik dalam hidup saat ini maupun selanjutnya.

"Berpaling dari keduniawian merupakan surat berwarna bagi orang baik, karena anak panah tajam yang dilepaskan lidah jahat dan mengubah senjata itu menjadi bunga pujian, untaian keagungan. Berpaling dari keduniawian adalah penakluk kebodohan (Dharma yang menguntungkan), dan jalan mudah untuk mencapai pembebasan. Barang siapa yang lalu tidak menjalankan praktik utama penolakan duniawi ini, kebajikan yang manakah yang dengan pasti membawa pada kebahagiaan?" Demikianlah ajaran Mahasattva yang diberikan untuk menghibur tamunya.

Sementara itu, raja telah bangun dari tidurnya. Kelelahannya telah pulih, tetapi matanya tetap diliputi mendung kebebalan minuman, ia marah kepada para pelayan perempuannya ketika ia melihat bantal, kemana istrinya pergi, karena ia ingin melanjutkan bersenang-senang. "Baginda", jawab mereka, "ratu telah pergi ke tempat lain untuk mereguk keindahannya."

Rindu untuk dapat melihat canda tawa, tarian liarnya dan kegenitannya, sang raja bangkit dari kasurnya. Diiringi oleh para pelayannya yang membawa payung, busana luarnya dan juga pedangnya, diikuti oleh para pelayan dari selir-selirnya membawa alat musik, ia membunyikannya di dalam hutan mencari istrinya. Dengan mudah ditelusuri, karena jejaknya bertaburkan bunga warna-warni, kuntum bunga, ranting dan kulit merah dari buah pinang yang telah dikunyahnya, tak butuh waktu lama raja segera tiba di pertapaan Kshantivadin.
Saat raja melihat sang pertapa dikelilingi oleh istri2nya, ia memandang mereka dengan kemurkaan. Selain karena sudah menjadi tabiatnya yang terbawa dari hidupnya yang lampau, juga akibat mabuknya, hasrat dan kecurigaannya, ia kehilangan aturan kepantasan dan kalah oleh sikap yang tak terkendali. Karena ia benar-benar kehilangan usaha pengekangan diri, betapapun tampak menarik serta agung wujud seseorang, menjadi lenyap sama sekali.

Butiran keringat muncul di wajahnya, tubuhnya gemetar, alisnya meninggi, matanya kemerahan, melotot, nanar dan dalam kemurkaan. Mengepal-ngepalkan tangannya, menekan-nekan cincin di jarinya, menggeser-geser gelang emasnya, ia menyerang dengan makian terhadap kesucian sang pertapa:
"Siapa bajingan yang telah menghina keagunganku ini, memandang penuh nafsu pada istriku? Penipu ini bertingkah seolah-olah seperti pengajar biasa yang menyaru sebagai orang suci!"

Terganggu oleh kata-kata tersebut, pelayannya menyahut:
"Baginda, jangan berkata demikian. Beliau adalah pertapa yang melalui pertapaan panjang penolakan duniawi dan praktik spiritual telah memurnikan egonya, beliau bernama Kshantivadin."

Sebaliknya, raja tidak memedulikan sama sekali kata-kata mereka. "Oh, sungguh bagus kata-katamu! Penipu ini telah lama menipu setiap orang, menganggap dirinya sebagai orang suci dan guru. Menjadi tugas kita untuk membuktikan kebenaran sifat jahanam yang mempraktikkan seni kebodohan dan kesucian palsu yang dengan cerdik disembunyikannya di bawah jubah tapa dan kata-kata santunnya." lalu menatap sebilah pedang miliki pengawal perempuannya, ia mendekati sang pertapa, bermaksud untuk membunuhnya seakan dia sebagai musuh jahatnya.

Istri raja, mengetahui kedatangan sang raja, bangkit dari duduknya di tanah. Bingung serta heran melihat tingkah sang raja yang begitu marah, mereka bersujud kepada Maharhsi (Panggilan kepada guru spiritual) dengan tangan beranjali, lalu pergi menyambut raja. Berdiri di hadapannya, mereka bagaikan rumpun tunas bunga teratai di musim gugur, sebagaimana cerahnya bunga yang hampir mekar.

Meskipun wujudnya sedemikian mulia, begitu ramah, begitu indah menyenangkan manusiawi, tak dapat meluruhkan hati yang telah dikuasai oleh api kemurkaan. Melihat raja meneruskan kemurkaannya terhadap sang pertapa dengan mata penuh kebencian dan senjata terangkat, ratu dengan berani dan tanpa rasa takut menghalang-halangi raja dengan maksud menyadarkannya, dengan berkata, "Baginda, mohon, jangan lakukan perbuatan tanpa alasan ini. Orang ini adalah yang mulia Kshantivadin."

Sebaliknya, batin sang raja telah penuh oleh racun, sehingga kata-kata mereka hanya membuatnya semakin kalap. Ia berpikir, "Dia telah merebut hatinya," ia memandang istrinya dengan bengis, memandang dengan marah seolah kecemburuan telah menguasai hatinya. Tak mau mendengarkan kata-kata berani dan lembut istrinya, kepalanya terguncang begitu kerasnya hingga anting maupun mahkotanya jatuh, raja berpaling dengan murka kepada pelayannya, lalu berkata dengan pandangan pada selir-selirnya, "Orang ini mengajarkan pengendalian diri, tapi lihatlah bagaimana ia melakukannya! Lihatlah sendiri betapa mudah baginya membunuh keinginan untuk berhubungan dengan wanita. Lidahnya tidak sejalan dengan perbuatannya, yang tetap ternoda oleh hatinya yang busuk. Dengan hak apa orang hina ini berdiam di hutanku, merusak sumpah agama dan mengaku sebagai orang suci?"

Dalam kemarahannya, raja menunjukkan kekerasan hatinya hingga tak dapat disadarkan lagi, sedangkan sang ratu, mengetahui telah terhapus sifat jahatnya, mengetahui kemurnian kebuasannya, dimana dipenuhi oleh kesedihan serta kegalauan. Si kasim, yang telah melihat tanda, memberi isyarat kepada para istri agar menjauh. Tertunduk malu, mereka lalu bubar, menangis berharap agar sang pertapa tidak mengalami apa-apa.

"Kitalah penyebab kemurkaan raja terhadap orang suci yang telah bebas dari ego, yang termasyhur kebajikannya. Bagaimana ini akhirnya? Raja kita, menuruti kemurkaannya pada orang baik, akan melakukan perbuatan yang tak terkatakan. Dalam waktu yang menakutkan, raja kita tak hanya akan menghancurkan orang suci akan tetapi juga para raja keturunannya, keagungannya yang sulit didapatkan, dan pikiran kita yang tiada salah."

Segera setelah harapan dan keprihatinan para wanita pergi, raja dengan geram mendekati orang suci, mengancamnya dengan pedang terhunus. Melihat Mahasattva tak terganggu dan tetap tenang, sikapnya yang senantiasa tenang, sang raja semakin beringas: "Seperti apa sebenarnya kecakapannya dalam menyaru sebagai orang suci! Melihat bagaimana ia melihatku seolah dirinya seorang Muni, meyakinkan kecongkakan palsu!"

Sebaliknya Bodhisattva, akibat praktik kesabarannya yang terus menerus, tetap tak merasa terganggu, bahkan meski dicaci maki sedemikian kerasnya. Ia seketika paham bahwa kecepatan kemarahanlah yang menggerakkan sang raja berbuat seperti ini, membuatnya meninggalkan segala nasihat da pendapat, sebaliknya bahkan kehilangan kemampuannya untuk membedakan kebajikan dan kejahatan. Dengan belas kasih di hatinya, sang pertapa hendak menenangkan raja dari tempat duduknya meredakan amarah raja dengan ucapan yang menyenangkan:

"Bertemu dengan kekurangajaran merupakan hal yang biasa di dunia ini. Seperti juga halnya keberuntungan diri, untuk apa menghiraukannya? Namun itu tidak kulakukan karena aku tidak menyambutnya, bahkan meski dengan sapaan, sambutan karena orang yang datang ke kediamanku. Namun demikian, ketahuilah, Oh Raja; Engkau terikat dengan tanggung jawab untuk memperbaiki pelaku kejahatan, dan berbuat yang adil terhadap semua makhluk. Mohon jangan berbuat ceroboh! Sadarilah dengan seksama perbuatanmu.

"Pertama pikirkan, bahwa kadang kala yang baik tampak sebagai buruk, kadang juga yang jahat tampak sebagai baik. Kebenaran tentang apa yang harus dilakukan pada saat tertentu bahkan tak disadari saat itu juga. Orang harus menelaah segala kemungkinan. Pemimpin yang melalui perenungan terhadapnya, memperoleh kepastian yang sebenarnya bagi tindakannya, lalu menjalankan rencananya dengan cara yang benar tak diragukan lagi akan membawa kebajikan pada Dharma, membawa kebajikan bagi rakyatnya dan juga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri.

"Ubahlah batinmu yang terburu-buru, palingkan pikiranmu pada perbuatan yang akan dapat membawa nama baik bagimu. Menyesali perbuatan karena perasaan tinggi hati dari orang yang berkedudukan tinggi adalah menjadi sasaran bagi kritik cela. Di hutan dilindungi oleh para prajurit yang mulia, di dalam kediaman seorang pertapa, Engkau jangan membiarkan siapapun menyakiti orang saleh. Bagaimana bisa Engkau melakukan perbuatan ini pada dirimu sendiri?

"Bila para selirmu datang ke pertapaanku secara kebetulan, apa salahku sehingga membuatmu begitu murka? Bahkan jika itu sebuah kesalahan, pengendalian diri akan lebih sesuai bagi anda semua. Pengendalian diri sesungguhnya perhiasan utama bagi orang yang berkuasa, karena ia menunjukkan kepandaian dalam menjaga harta kebajikan. Tak ada perhiasan raja yang melebihi pengendalian diri, bukan anting indranila yang berkilauan dalam kecemerlangannya bukan pula intan berkilauan mahkota kerajaan.

"Singkirkan ketidaksabaran yang tak boleh dituruti, dan kembalilah pada sikap sabar yang dapat memberimu kebajikan; pertahankan pengendalian diri sepenuh hati sebagaimana Engkau memperlakukan kerajaanmu. Penghormatan yang ditujukan kepada pertapa akan mendatangkan kelahiran sebagai seorang pangeran yang penuh kebahagiaan."

Nasihat pertapa suci yang baik ini sama sekali tak ada artinya bagi raja, di mana hatinya semakin tak terkendali. Raja mengulang kembali tuduhannya: "Jika Engkau memang bukan penipu," teriaknya, "jika Engkau memang benar-benar telah menjalankan sumpah pengendalian diri, lalu untuk apa Engkau mengharapkan keselamatan dengan ajaran kepura-puraan ini?"

Bodhisattva menjawab: "Dengar, Oh Pangeran, alasan permohonanku. Aku berkata begitu yang sebenarnya tak perlu dikatakan kepadamu: 'Bahwa raja yang membunuh seorang pertapa tak berdosa, seorang brahmana.' Perbuatan seperti itu membuatmu mendapat cela tiada akhir dan benar-benar akan menghancurkan nama baikmu.

"Semua makhluk pasti akan mati. Memang demikianlah segala sesuatu, itu sudah pasti. Jika aku memperhatikan sikapku, aku hanya mengetahui hal itu, sehingga tak ada yang kutakuti. Itu semata-mata hanya demi kebajikanmu sehingga aku memuji pengendalian diri, agar Engkau tak akan menderita karena berbuat benar, yang menjadi sumber seluruh kebahagiaan. Kesabaran adalah sumber kebajikan, baju zirah dari kejahatan. Aku gembira memujinya dan mempersembahkan kepadamu suatu sarana untuk mendapatkan keselamatan."

Namun demikian, meskipun dengan kata-kata kebenaran yang begitu jelas, tetap saja tak dipedulikan oleh raja, Ucapan sang Muni, meski bagaikan bunga, tak berpengaruh pada raja. "Mari kita lihat keteguhanmu pada pengendalian diri!", cela sang raja. Lalu mengayunkan pedangnya, sekali tebas ia memotong tangan kanan Kshantivadin yang menunjuk pada raja, kelima jarinya mengacung ke atas dalam mudra pengendalian diri. Dalam sekali tebas raja telah memutus telapak tangan dari lengan, bagai memangkas bunga teratai dari tangkainya.

Saat itu juga Bodhisattva melihat masa depan pembawa pedang tersebut begitu mengerikan yang tak tertebuskan hingga membuatnya merasa kembali begitu bersedih hati, dibandingkan dengan kepedihannya sendiri. "Oh", pikirnya, "perbuatan salahnya sungguh tak dapat ditebus lagi. Ia sudah terlalu jauh dari kesanggupanku untuk menolongnya, dan telah membuat dirinya menjadi orang yang tak dapat mengambil manfaat dari ucapanku." Merasa kasihan bagaikan seorang tabib terhadap pasiennya, ia tetap berdiam diri. Sebaliknya raja tetap terus mengutarakan ancamannya:
"Hingga Engkau berhenti dari kepura-puraanmu dan berhenti dari tipu muslihat busukmu, aku akan memotong-motong tubuhmu sampai kau mati!"

Bodhisattva tidak menjawab, karena ia paham bahwa raja telah tuli pada segala rasa kemanusiaannya, dan juga terhadap segala nasihat. Satu persatu raja memotong tubuh Mahasattva. Pertama kedua telapak tangannya, lalu kedua lengannya, kemudian telinganya, hidungnya, dan telapak kakinya. Namun demikian tetap saja rasa sakit dan kemurkaan tak dapat menyentuh sang pertapa ketika pedang yang tajam mengenai tubuhnya. Dengan jelas memahami bahwa keberadaan tubuhnya yang merupakan sebuah alat pada suatu hari pasti akan musnah juga, disertai dengan praktik pengendalian dirinya yang terus-menerus memberi kekuatan kepada Sang Muni hingga tetap merasa tak terganggu. Bahkan ketika melihat bahwa anggota tubuhnya telah terlepas, ia tetap saja tak bergeming, malah dipenuhi oleh perasaan sangat menyesal melihat raja telah begitu jauh jatuh dari perbuatan yang benar.

Demikianlah orang yang penuh belas kasih merasa sangat berat untuk menanggung, bukan kesakitannya sendiri, sebaliknya penderitaan orang lain.

Segera setelah melakukan perbuatan kejam tersebut, raja terserang oleh penyakit yang menyerupai demam. Dengan suara mengerang mengguncang hutan, ia lalu melarikan diri dengan cepat dari taman tersebut. Di bawah telapak kakinya bumi terbelah, kobaran api menyembul, seketika sang raja lenyap.

Para punggawa raja, bingung dan tersentak, berteriak dalam ketakutannya, menganggap bahwa bencara tersebut terjadi akibat kekuatan sang pertapa, mereka ketakutan dan khawatir kalau-kalau sang pertapa akan membakar seluruh kerajaan dalam pembalasan kemarahannya. Dengan gemetar mendekati sang pertapa, mereka bersujud kepadanya dengan tangan beranjali lalu berkata keras:

"Semoga hanya raja bodoh saja yang akan menjadi api bakar yang kau timbulkan. Pikiran buruknya sendiri yang akan membuatnya melakukan hal ini kepadamu. Mohon jangan bakar kotanya! Jangan hancurkan orang yang tak berdosa, para wanita dan anak-anak, juga orang tua, orang sakit, para suci dan orang-orang miskin! Kasihilah orang-orang baik, selamatkan istana raja dan juga kebajikan anda sendiri!"

Bodhisattva menenangkan mereka:

"Saudara, jangan merasa takut. Meski raja telah menunjukkan perbuatannya menyakiti pertapa hutan yang tak berdosa, bahkan sampai memotong tangan, kaki, telinga, serta hidungku, bagaimana mungkin orang sepertiku ingin berbuat jahat, atau bahkan sekedar memiliki pikiran seperti itu? Semoga ia panjang umur dan semoga tak ada kejahatan yang menimpanya.

"Menjadi objek bagi penderitaan, kematian dan penyakit, dikuasai oleh keinginan dan kebencian, menjadi sasaran perbuatan jahat, sungguh kasihan raja kalian. Siapakah yang membuatnya menderita? Siapakah yang marah kepadanya? Sebaliknya, biarlah perbuatan dosanya berbuah menimpaku! Bagi orang yang menginginkan kesenangan, mengalami kemalangan sungguh tak tertahankan, bahkan meskipun itu hanya sebentar. Namun demikian, aku tak mampu melindunginya. Ia telah menghancurkan kebahagiaannya sendiri. Lalu untuk apa aku membencinya?

"Setiap orang pastilah mengalami penderitaan yang disebabkan oleh kematian ataupun penyebab lainnya. Kelahiranlah yang harus dihindari. Karena bila tidak ada kelahiran, darimana penderitaan akan muncul. Kalpa demi kalpa aku telah kehilangan tubuhku yang tak berharga karena berbagai sebab. Lalu dengan tujuan apa aku harus menghentikan pengendalian diriku setelah mengingat nasib buruk orang lain? Hal itu akan menyerupai membuang permata memungut kerikil. Berdiam dalam hutan, terikat pada ikrar penolakan duniawiku, mengajarkan sikap pemaaf, menjadi objek kematian, bagaimana bisa aku berkeinginan untuk membalasnya? Jangan takut kepadaku, pergilah dengan tenang."

Dan demikianlah, keteguhannya tak tergoyahkan dalam berpegang pada sikap kesabaran, Muni yang termasyhur ini menerima mereka yang menghadapnya sebagai siswa. Ia lalu meninggalkan tempat kediamannya, kemudian pergi ke alam surga.

Menggunakan kisah ini, dengan menjadikan Sang Muni sebagai teladan, orang dapat memperlihatkan sikap kesabarannya. Dengan menggunakan raja sebagai contoh, orang dapat menunjukkan penderitaan yang disebabkan oleh ketidaksabaran dan sikap yang gegabah. Kisah ini juga dapat diceritakan untuk menjelaskan akibat penderitaan dari kesenangan duniawi, yang dikatakan: "Dengan cara demikianlah kesenangan duniawi membawa manusia ke dalam noda kejahatan yang menyebabkannya mengalami kehancuran." Kisah ini juga dapat dikisahkan dengan objek yang menunjukkan tak dapat diandalkannya harta kekayaan.

Sumber : http://www.wihara.com/topic/48830-kshantivadin-jataka/

Tidak ada komentar: