Kamis, 14 Mei 2015

MAHAKAPI JATAKA

KELAHIRANNYA SEBAGAI KERA BESAR
JATAKAMALA
Saat orang baik disakiti oleh yang lain, mereka kurang menangisi kesakitannya sendiri, dibanding kebajikan yang hilang oleh mereka yang telah menyakitinya. Pada suatu ketika Bodhisattva menunjukkan hal ini.
Di dekat pegunungan Himagiri terbentang daerah yang subur, kaya, dan menarik serta beraroma seharum gaharu, tertutup oleh hutan lebat bagai padatnya sutra gelap. Burung berbagai warna serta ukuran menghiasi taman, yang begitu padu dalam ukuran maupun warna yang muncul menggambarkan sebuah karya besar. Di sini makhluk-makhluk surgawi bermain di air jernih yang mengalir dari mata air gunung yang mengalir melewati bebatuan tebing dan tumpah melalui tebing sebagai air terjun yang besar. Dengung lebah menggema, angin sejuk meniup pepohonan yang berbunga. Di sinilah Bodhisattva pada suatu ketika mengambil kelahiran sebagai seekor kera besar yang hidup sendirian.
Bahkan dalam wujudnya sebagai binatang, Bodhisattva tidak kehilangan kesadarannya pada Dharma: baik, sabar tiada terukur, dan karena sifat yang manis serta teguh, ia diberkati dengan belas kasih yang tanpa batas, bagai angkasa. Meskipun bumi, dengan hutan, gunung besar, dan samudra yang dalam, telah lenyap berkali-kali karena air, api dan angin; belas kasih Bodhisattva benar-benar tak dapat dihancurkan. Kera besar ini hidup bagaikan seorang pertapa, mencukupi diri hanya dengan makanan sederhana dedaunan dan buah-buahan, dan menggunakan apa pun sarana yang ia dapatkan untuk binatang-¬binatang yang ada di sekitarnya.
Hingga suatu hari lewatlah seorang petani, yang dalam pencarian sapinya yang lepas, tersesat jalan. Tak dapat mengenali keberadaannya melalui gugusan bintang di angkasa, ia berkelana tanpa arah sama sekali, hingga kemudian ia sampai di tempat kediaman kera besar. Di situ, kering oleh lapar, haus, kepanasan dan kelelahan, hatinya terbakar oleh api penderitaan, hatinya sedih oleh beban keputusasaan, ia menjatuhkan dirinya di pangkal sebatang pohon. Dalam kelaparannya memandang ke sana kemari, ia melihat sejumlah runtuhan buah tinduka terhampar berceceran di atas tanah. Perihnya rasa lapar membuat rasa pahit buah itu seakan manis, begitu menyegarkan, hingga ia mulai mencari asal-usulnya.
Ia belum melihat jauh. Tumbuh di sebuah bukit batu di tebing air terjun, pohonnya menjulang di atas tebing yang curam, rantingnya berayun oleh berat buahnya yang berkilau, bulat dan memikat. Menimbulkan minat, petani tersebut menaiki bukit dan memanjat pohon tersebut, menjangkau ranting yang sarat dengan buah. Karena bergegas untuk mendapatkan buah, ia perlahan-lahan sampai ke ujung cabang. Tiba-tiba, karena tak dapat menahan beratnya, cabang tersebut patah, seolah ditebang dengan kapak.
Dengan jeritan keras ia langsung jatuh dari atas bukit. Berpegangan pada cabang untuk menyelamatkan diri, ia jatuh ke dalam jurang di mana terdapat kolam dengan air yang dalam dikelilingi oleh tembok batu tinggi. Daun dari ranting pohon menahan jatuhnya, menghindarkannya dari patah tulang, lalu ia dapat bergegas memanjat keluar dari air dingin. Tapi setelah melihat ke segala arah ia tak dapat menemukan jalan keluar dari kolam hutan. Menyadari bahwa dirinya akan segera menghadapi kematian, ia larut dalam tangis, panah kemalangan telah menghancurkan hatinya. Dikuasai oleh perasaan sedih, ia berteriak-teriak:
"Aduh! Di tengah hutan terpencil ini, yang jauh dari telinga manusia, aku jatuh ke dalam kubangan, seperti binatang hutan terjerat oleh perangkap. Tak seorangpun, betapapun dan bagaimanapun cermatnya mereka mencari, pasti tak akan dapat menemukanku, kecuali kematian.
Tak ada kerabat atau sahabat yang dapat mendengar tangisku, hanya suara nyamuk yang datang untuk mengisap darahku. Aku tak akan dapat lagi menyaksikan taman dan hutan yang indah, gubuk dan sungai, langit yang indah oleh bintang-bintang bagaikan permata. Aku duduk di tempat yang benar-benar gelap, di mana malam gelap kubangan ini menyembunyikanku dari dunia."
Demikianlah keluh kesahnya, selama berhari-hari ia berada di dalam kubangan yang dalam, hanya hidup dari air kubangan dan sedikit buah tinduka yang jatuh bersamanya.
Saat itu, secara kebetulan kera besar sedang berkeliling melewati bagian hutan itu mencari makanan. Menemukan tanda dari ranting pohon tinduka yang tercuri di angkasa, ia memanjatnya, lalu memandang ke arah air terjun, melihat tubuh kurus manusia yang terbaring di bagian bawah kubangan, mata dan pipinya cekung serta pucat, jelas sekali lemah karena kelaparan. Belas kasih kera besar serta-merta timbul. Sama sekali lupa mencari makanan, ia mengarahkan pandangannya pada manusia yang jauh di bawah, dengan bahasa manusia ia memanggil:
"Kau yang di sana, apa yang kaulakukan di dalam kubangan yang tak terjamah manusia? Siapa Engkau dan bagaimana Engkau bisa sampai ke sana?"
Orang yang di dalam kubangan, mengarahkan matanya pada kera besar, membungkuk dengan tangan beranjali dalam takjub serta memuji: "Kami hanyalah seorang manusia, Oh Dewa Agung," ujarnya. “Kami tersesat jalan di hutan. Berusaha untuk mengambil buah dari pohon itu, yang kami dapatkan bencana. Di tempat yang mengerikan ini, yang jauh dari teman dan keluarga, bencana telah menimpa kami. Kami mohon kepadamu, Oh Sang Pelindung Kera, selamatkanlah diri kami."
Orang yang sedang dalam kesulitan, tanpa sahabat atau keluarga yang menolong, meminta bantuan dengan wajah penuh harap dan tangan beranjali, akan membangunkan perasaan kasihan bahkan di hati musuhnya yang paling jahat sekalipun. Bagi Mahasattva, orang seperti ini menimbulkan belas kasih yang besar. Dipenuhi oleh perasaan kasihan yang tiada terbilang Bodhisattva menanggapi orang itu dengan kata-kata yang menyenangkan:
"Jangan menganggap bahwa segalanya telah hilang karena kamu jatuh ke dalam lubang ini, dan tak mempunyai teman yang akan menolongmu. Apa yang tak dapat dilakukan oleh para sahabat, aku dapat melakukannya. Janganlah cemas."
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisattva melemparkan lebih banyak buah tinduka dan juga buah-buahan lainnya, lalu pergi melalui jalan kecil untuk mempersiapkan dirinya menjalankan tugas yang ada di hadapannya. Pertama-tama ia mencari sebuah batu yang berat serta ukurannya sama dengan manusia, lalu menggendongnya di punggung untuk menguji kemampuannya membawa orang itu keluar dari dalam lubang. Memahami kesanggupan kekuatannya dan memastikan bahwa ia dapat melakukannya, ia kembali lagi ke tebing dan turun ke dasarnya.
Dengan tenang ia berkata: "Naiklah ke punggungku dan peganglah yang erat saat aku menarik tubuhku dan tubuhmu sekuat tenaga. Karena sebenarnya, seperti yang diketahui para bijaksana, tubuh adalah sesuatu yang tak berguna hingga digunakan untuk menolong orang lain."
Setelah menunduk hormat pada kera besar, orang itu naik ke punggungnya. Selanjutnya sang kera, dengan menahan rasa sakit karena beban berat, meskipun dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan, memanjat dengan susah payah naik ke samping batu, dan dengan demikian berhasil menyelamatkannya. Meskipun ia merasa sangat gembira, Bodhisattva begitu terkuras tenaganya hingga cara jalannya gontai serta gemetar; mencari hamparan batu, berwarna abu-¬abu seperti awan, ia berbaring untuk istrirahat. Dengan hati murni, tak menduga datangnya bahaya dari orang yang baru saja diselamatkannya, dengan penuh percaya ia berkata:
"Daerah hutan ini penuh dengan bermacam-macam binatang buas. Untuk itu, selagi aku memulihkan diri, tolong awasi kalau-kalau beberapa binatang hendak menghancurkan baik kebahagiaanku maupun dirinya sendiri di kemudian hari. Berjagalah dengan penuh kewaspadaan demi kita berdua. Aku sangat lelah dan perlu istirahat."
Dengan berpura-pura orang itu berjanji: "Jangan khawatir. Saya akan berada di sini menjaga kita berdua. Tidurlah, selama yang kau inginkan, jangan bangun sebelum Engkau benar-benar pulih kembali."
Akan tetapi segera setelah Mahasattva jatuh tertidur, pikiran jahat muncul dalam hati orang tersebut. "Untuk apa kau tetap di sini lebih lama lagi?"pikirnya. "Dengan apa aku akan hidup, umbi-umbian yang susah payah dikumpulkan atau buah-buahan yang ditemukan secara kebetulan? Dengan makanan seperti itu, aku tak akan dapat memulihkan kekuatanku. Jika aku lemah dan lapar, bagaimana bisa aku keluar dari hutan belantara ini?”
"Tubuh kera ini akan memberiku makanan yang cukup selama perjalanan. Meskipun ia telah berbuat baik kepadaku, tetapi ajaran untuk menghadapi keadaan sulit harus dijalankan di sini, sehingga aku dapat memakannya. Tetapi aku hanya dapat membunuhnya saat ia tidur; dalam tidurnya yang sekarang lebih tepat, mengingat bahkan tak ada singa yang dapat mengalahkannya bila ia terjaga. Tak akan ada kesempatan yang disia-siakan."
Pikiran jahat telah begitu membelenggu dalam nafsu yang kelam dibanding kemurahan hatinya, pengetahuannya pada apa yang benar dan naluri belas kasihnya sama sekali telah lenyap. Mengabaikan tubuhnya yang kurus dan hanya berpikir tentang keinginannya untuk membunuh, ia mengambil sebongkah batu besar dan menjatuhkannya tepat di kepala kera.
Akan tetapi tubuhnya yang masih lemah terjatuh, ia melakukannya dengan tergesa-gesa; batu tersebut, meleset dari tujuan hendak membuat kera tertidur pulas dalam kematian dan hanya sekadar menggoncangkannya. Jangankan membuat kepala kera remuk, ia hanya membuat pelipisnya memar dan jatuh ke tanah dengan suara gedebuk yang keras.
Dengan cepat meloncat, Bodhisattva melihat ke sekeliling untuk mencari penyerangnya. Namun ia tak menemukan kecuali orang yang telah diselamatkannya, wajahnya pucat pasi, sikapnya serba salah, ia memperlihatkan dirinya sendiri dengan wajahnya yang malu dan cemas. Serta-merta rasa takut telah mencekik tenggorokan orang itu, membuat keringat berjatuhan dari tubuhnya, dan ia tak sanggup mengangkat pandangannya. Tak perlu lama bagi kera untuk mengerti siapa yang telah berusaha menyakitinya.
Dengan mengabaikan seluruh rasa sakitnya, Bodhisattva hanya merasakan kesedihan dan belas kasih terhadap orang itu yang telah melempar segala harapan kebahagiaannya. Menjalankan keputusan hatinya yang telah bulat, ia lalu berangkat pergi ke hutan melemparkan segala harapan kebahagiaan melalui perbuatannya. Tanpa perasaan marah dan dendam, matanya penuh dengan air mata, Bodhisattva berbicara dengan suara yang sangat sedih: "Saudara! Bagaimana bisa Engkau, sebagai manusia dapat melakukan perbuatan seperti ini? Bagaimana bisa Engkau merencanakannya, bahkan berusaha melakukannya, padahal Engkau telah berjanji untuk melakukan apa saja untuk melindungiku dari bahaya?
Apakah aku telah memperlihatkan sedikit rasa congkak setelah dapat menyelamatkanmu, sehingga dengan begitu Engkau hendak menghancurkannya, karena yang telah kaulakukan sesungguhnya jauh lebih sukar dari yang telah kulakukan. Setelah ditolong dari mulut Dewa Kematian, dan baru saja keluar dari jurang, Engkau telah jatuh lagi pada jurang lain!
Bagaimana ini bisa terjadi? Hei orang yang diliputi ketidaktahuan, hina dan kejam, yang akan membuat penderitaan menjadi kesulitan yang jauh lebih berat yang tak ada harapan lagi. Engkau telah menghancurkan dirimu sendiri, dan juga menyalakan api kesedihan dalam diriku. Engkau telah mengotori nama baikmu, bertentangan dengan kecintaanmu pada kebajikan, dan juga menghancurkan kemungkinanmu untuk dipercaya. Kini Engkau menjadi sasaran seluruh panah yang dilepaskan. Akibat itukah yang ingin kaudapatkan?
Rasa sakit lukaku tak seberapa dibanding dengan pikiran yang menurutku telah Engkau jatuhkan ke dalam kejahatan, sehingga tak seorang pun, bahkan juga diriku mampu untuk menghapuskan perbuatan itu.
Sekarang kemarilah. Duduklah di sampingku. Jangan mengelak dari pandanganku, karena Engkau tak dapat dipercaya. Aku akan menuntunmu keluar dari hutan yang berbahaya ini ke jalan yang membawa ke pemukiman penduduk. Berada disini sendiri, dengan tubuh lemah dan tak tahu jalan, Engkau akan menjadi incaran mereka yang akan membuatmu sangat menderita dan menyia-nyiakan segala yang telah kulakukan."
Mahasattva membawa orang tersebut ke tepi hutan. Setelah menunjukkan jalan kepadanya, ia sekali lagi berkata: "Sekarang, Saudara, Engkau telah berada di tepi permukiman penduduk dan Engkau dapat meninggalkan hutan yang berbahaya ini. Semoga perjalananmu menyenangkan, dan semoga Engkau juga menjauhi perbuatan jahat, karena pahala kejahatan sangatlah menyedihkan."
Demikianlah, dengan dipenuhi belas kasih, kera besar mengajari orang tersebut seolah-olah ia siswanya. Selanjutnya ia kembali ke kediamannya di hutan. Sebaliknya orang tersebut, tersiksa oleh kobaran api penyesalan sehingga ia sendiri tak lama kemudian terjangkit oleh penyakit lepra ganas. Wajah dan kulitnya dipenuhi oleh luka menganga yang mengeluarkan nanah busuk di sekujur tubuhnya. Sejak saat itu, ke mana pun ia pergi ia menimbulkan ketakutan dan rasa jijik. Begitu mengerikan wujudnya yang rusak hingga baik rupa maupun suaranya membuat ngeri manusia, begitu jelasnya bentuk penderitaannya. Menganggapnya sebagai hantu, di mana-mana orang karena takutnya, melemparinya dengan batu dan pentungan serta makian.
Suatu hari saat ia berkelana bagaikan rusa melewati sebuah hutan, ia ditemukan oleh seorang raja yang sedang berburu di hutan. Melihat manusia yang berwujud sangat seram, pakaiannya telah berubah menjadi lusuh compang-camping yang menutupinya, raja berkata kepadanya dengan suara gemetar bercampur takut:
"Tubuhmu rusak oleh lepra, kulitmu penuh dengan borok. Sangat pucat, kurus dan makhluk paling menderita yang pernah kulihat. Siapakah Engkau? Preta, yaksa, asura atau vetala? Makhluk apa hingga mengalami penyakit seperti itu?
Membungkuk kepada raja, orang itu menjawab dengan suara yang memilukan: "Kami bukan hantu, kami seorang manusia, Baginda."
Raja lalu bertanya kepadanya bagaimana mulanya hingga ia jatuh dalam keadaan yang cacat demikian, dan orang lepra itu kemudian mengakui perbuatan jahatnya, dan menambahkan: "Penderitaanku sekarang sesungguhnya akibat dari berbuahnya ketiga pohon yang kutanam, yaitu perbuatan mengkhianati sahabat. Aku tidak ragu lagi buahnya akan jauh lebih menderita lagi. Untuk itulah, Oh Baginda, engkau harus menganggap perbuatan pengkhianatan terhadap seorang sahabat sebagai musuh terbesar, senantiasa memandang dengan kebajikan terhadap semua orang yang baik kepadamu.
Mereka yang memutuskan persahabatan pasti akan mengalami halangan di dalam hidup ini, apalagi hidup nanti. Karena pikirannya ternoda oleh kebencian dan niat jahat lainnya, apa yang akan menimpanya kemudian tak dapat dibayangkan. Mereka, bagaimanapun, yang batinnya dipenuhi oleh belas kasih dan perhatian pada sahabat, menuai kepercayaan dari semua dan menikmati kebajikan agung. Pikiran setia akan memberinya kebahagiaan besar. Dengan keseimbangan dan kemanusiaan mereka akan merengkuh musuhnya dan pada akhirnya meraih jalan menuju alam luhur.
Mengerti akibat dari sikap baik dan buruk kepada sahabat, Oh Baginda, berpeganglah teguh pada jalan kebajikan, karena siapa pun yang melewati jalan itu tak diragukan lagi mencapai kebahagiaan."
Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang yang baik sedih karena kehilangan kebajikan yang ditimbulkan oleh mereka yang menyakitinya dibandingkan sedih pada deritanya sendiri. Kisah ini dapat juga digunakan ketika membicarakan keagungan batin Sang Tathagata, dan juga ketika membicarakan tentang perlunya mendengar dengan penuh perhatian terhadap ajaran Dharma. Ini juga dapat dilafalkan ketika berkaitan dengan kesabaran dan kesetiaan terhadap sahabat. Juga pada saat mengungkapkan betapa merusaknya perbuatan jahat.

Tidak ada komentar: