Kamis, 14 Mei 2015

Kisah Gajah Putih

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA)

Suatu ketika Bodhisattva hidup sebagai seekor gajah putih yang sangat besar di suatu hutan yang luas, dimana ketiga sisinya dikelilingi oleh sebuah padang pasir. Pegunungan membatasi salah satu sisi dari hutan besar ini, dimana sebuah danau besar dipenuhi dengan berbagai jenis bunga teratai, membuatnya menjadi tempat kediaman yang menyenangkan dan menarik. Hutan ini sedikit diketahui oleh orang-orang dan suara manusia hampir tidak pernah terdengar, di bawah bayangan pepohonan yang sudah sangat tua yang dahan-dahan di bagian atas pohon telah menyatu dan membentuk ruangan hijau yang luar biasa besarnya. Di sinilah raja gajah tinggal sendiri dalam kemegahan. Makanannya adalah dedaunan dan dahan-dahan pepohonan dan minumannya adalah air dari danau teratai.
Suatu hari, ketika gajah putih mengembara mendekati perbatasan hutan menuju hutan belantara, Ia mendengar dari kejauhan suara-suara dari banyak orang, yang sepertinya berada dalam kesulitan besar. Ia mendengarkan dengan seksama dan menduga bahwa rombongan orang tersebut pasti telah tersesat di gurun pasir karena suara yang didengarnya adalah tangisan yang menyedihkan.
“Mungkin orang-orang ini tersesat di gurun pasir, atau mungkin diusir karena perintah dari seorang raja dan mereka menderita kelaparan dan kehausan, saya harus menghampiri mereka dan melihat apa yang dapat saya lakukan untuk mereka,” pikir sang gajah yang penuh welas asih. Dan dengan cepat Ia berlari ke tempat dimana suara tangisan yang menyedihkan berasal.
Karena tidak terdapat pepohonan di gurun pasir, Ia dapat melihat jarak yang sangat jauh, dan dari kejauhan Ia melihat sekumpulan orang yang sedang menangis dan merintih, yang kelihatan jelas mengalami kelaparan, kehausan dan kelelahan.
Orang-orang yang seluruhnya berjumlah sekitar tujuh ratus orang, pada awalnya ketakutan ketika mereka melihat seekor gajah putih besar berlari ke arah mereka. Tetapi karena mereka terlalu lemah untuk melarikan diri, mereka pasrah dan semua berpikir bahwa raja hutan yang sangat besar ini dengan sangat mudah akan menginjak-injak mereka sampai mati.
Ketika Bodhisattva dalam wujud gajah melihat ketakutan mereka, Ia berseru dengan suara manusia yang lembut: “Jangan merasa takut! Janganlah takut, saya tidak akan membahayakan kalian.”
Orang-orang yang menderita itu menatap gajah putih yang sangat besar dengan rasa kagum sekaligus takut. Tetapi melihat mata gajah yang penuh kebaikan dan mendengar suaranya yang lembut, rasa takut mereka menjadi berkurang.
Dengan mengangkat belalainya sebagai tanda memberi salam, sang gajah
berkata kepada mereka. “Bagaimana kalian bisa sampai ke tempat terpencil ini? Apa yang membawa kalian ke sini, di tempat yang jauh dari masyarakat?” Salah satu dari orang-orang malang tersebut menjawab, “Aduh, kami telah dihalau pergi dari negeri kami oleh raja kami yang marah, dimana seribu orang diusir ke gurun pasir untuk menemui ajalnya. Tiga ratus orang di antara kami telah meninggal sehingga tinggallah kami tujuh ratus orang yang menunggu kematian di sini, karena kami terlalu lelah untuk pergi lebih jauh, serta kami kelaparan dan kehausan. Dapatkah Anda membantu kami? Dapatkah Anda menunjukkan kami arah ke tempat makan dan peristirahatan?”
Sang gajah menjawab: “Saya turut merasakan kesedihan kalian. Raja kalian
pasti belum pernah diajarkan mengenai penderitaan karena kelaparan dan
kematian, jika tidak, beliau tidak mungkin mengusir kalian ke padang pasir. Oh!
Inilah penderitaan karena kesalahpengertian!” Sambil berucap demikian, sang gajah
yang welas asih berpikir: “Bagaimana saya dapat membantu orang-orang malang
yang menyedihkan ini, orang-orang kelaparan yang mengharapkan pertolongan dari
saya. Bahkan jika mereka dapat menjangkau hutanku, bagaimana mereka dapat
menemukan makanan yang cukup di sana? Jika saya berikan tubuhku kepada
mereka, dengan dagingku mereka mungkin akan bertahan hingga mereka dapat
menjangkau pegunungan, menenangkan diri dan memulai kehidupan baru. Saya
akan membantu mereka dengan memberikan tubuhku, yang bagaikan sebuah rakit
di lautan kesedihan!”
Sewaktu sang gajah sedang berpikir bagaimana Ia dapat membantu
kerumunan orang kelaparan yang menderita ini, mereka mengangkat tangan
memohonnya untuk menunjukkan tempat dimana mereka dapat menemukan
perlindungan, minuman dan makanan.
Sang gajah menatap mereka dengan air mata welas asih di matanya,
mengangkat belalainya dan menunjuk ke arah pegunungan sambil berkata: “Ikutilah
arah yang saya tunjukkan. Kaliann akan menemukan sebuah hutan dan sebuah
danau besar yang dipenuhi dengan teratai. Hilangkan dahaga kalian dan
beristirahatlah. Ketika kalian sanggup melanjutkan perjalanan, kalian akan
menemukan mayat seekor gajah di dekat danau di kaki gunung, yang baru saja
binasa karena terjatuh dari puncak gunung. Ambillah dagingnya dan puaskanlah
rasa lapar kalian, ambillah sisanya sebagai persediaan makanan dalam perjalanan
dan isilah ususnya dengan air, gunakanlah usus tersebut sebagai kantong air.
Dengan persediaan makanan dan minuman demikian, kalian akan dapat
menjangkau lembah di belakang gunung dengan mudah, dimana kalian dapat
menetap dan hidup berkecukupan dengan tersedianya makanan dan minuman yang
berlimpah. Ikutilah petunjukku dan segera mulailah pencarian keselamatan kalian.”
Setelah mengucapkan kata-kata yang menenangkan ini, sang gajah putih
berlari menuju puncak gunung dari sisi yang lain. Ia telah bertekad bahwa danau teratai kesukaannya akan memberikan minuman bagi mereka yang lelah dan tubuhnya sebagai makanan bagi yang kelaparan.
Setelah tiba di atas puncak gunung dengan tebing yang curam di hadapannya, sang gajah putih berhenti sejenak dan berpikir: “Walaupun sekarang saya tidak merealisasi Nirvana karena pengorbanan saya untuk orang-orang yang kelaparan ini, jika saya dapat membantu mereka sekarang dengan memberi makan tubuh mereka, agar di masa mendatang saya dapat menghantarkan mereka keluar dari hutan belantara Samsara.”
Dengan hati gembira, sang gajah menghempaskan dirinya ke bawah tebing. Dikatakan sewaktu terjatuh, tubuhnya bersinar bagaikan awan di musim gugur atau bagaikan bulan terbenam di balik pegunungan.
Gunung bergetar dan bumi pun berguncang. Mara, Sang Penggoda terusik dan para dewa hutan melambaikan lengan-lengan hijau ramping mereka dalam ketakjuban, menunjuk ke atas dan hujan bunga turun di atas tubuh raja para binatang yang hancur tersebut.
Gita-gita pujian dan penghormatan bergema di udara, sementara para dewa hutan mengelilingi tubuh yang terjatuh tersebut, bersujud dengan penuh hormat di hadapan makhluk yang telah memberikan nyawanya dengan suka rela.
Sementara itu, tujuh ratus orang kelaparan yang telah mengikuti petunjuk sang gajah putih, menemukan danau teratai dengan mudah. Lalu mereka menghilangkan dahaga mereka dan menyegarkan tubuh lapar mereka dengan air sejuk dan menyantap akar-akar teratai.
Setelah beristirahat sejenak, mereka pergi mencari mayat seekor gajah, seperti yang telah diberitahukan kepada mereka, dan tidak jauh dari danau, mereka melihat tubuh seekor gajah, dimana tampak jelas bahwa kematiannya terjadi hanya beberapa waktu yang lalu. Tubuh tersebut terlihat seperti gunung yang dipenuhi bunga-bunga. Lalu mereka berhenti sejenak dalam kekaguman dan beberapa dari mereka berseru: “Bukankah ini raja gajah yang menghampiri kita dan memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana keluar dari kesulitan?” Yang lain menangis: “Oh, tentu saja kita tidak dapat memakan tubuh makhluk yang telah membebaskan kita dari penderitaan?” Yang lain berkata: “Iya, betul, inilah gajahnya. Lihatlah kedua gading yang luar biasa, putih bagaikan salju, tetapi sekarang ditutupi debu gunung dan lihatlah belalai besar yang berbentuk seperti ujung jari yang beliau gunakan untuk menunjukkan arah yang benar kepada kita. Jadi, Ia telah mengorbankan tubuhnya untuk kita, sungguh sebuah persahabatan yang luar biasa! Sungguh welas asih yang tiada taranya!” Sebagian berseru, “Pastinya Ia sedang menuju penyempurnaan diri! Siapakah gurunya di hutan ini? Kita tidak dapat menyantap tubuh dari makhluk yang telah mengorbankan dirinya. Kita harus mengkremasinya sebagaimana penghormatan terhadap seorang raja!”
Beberapa orang yang lebih tabah berkata, “Tetapi, Ia telah mengarahkan kita dan memberitahu kita untuk memakan tubuhnya demi membebaskan kita dari kelaparan: marilah kita ikuti petunjuknya sehingga pengorbanan tubuhnya untuk kita tidak sia-sia. Ia telah mengorbankan segalanya untuk memberi makan para tamunya. Dan jika kita tidak menerima pemberiannya maka pengorbanannya akan sia-sia.”
“Marilah kita mengikuti permintaannya dan kemudian kita kremasikan sisa tubuhnya seolah-olah Ia adalah sanak saudara kita dan memberikan penghormatan kepadanya berdasarkan cara kita sendiri.”
Lalu mereka menerima pemberian tersebut dengan menjadikan tubuh sang gajah sebagai makanan mereka, menggunakan isi perutnya sebagai kantong air. Mereka meneruskan perjalanan setelah mengkremasikan sisa tubuh gajah dengan upacara seperti layaknya untuk seorang raja.
Mereka sampai di lembah subur di belakang pegunungan dengan selamat. Sejak saat itu, mereka memuja arca sang gajah putih sebagai pembimbing dan pelindung mereka.
Di lembah Gajah Putih, kisah penyelamatan keluar padang pasir telah turun-temurun disampaikan dari ayah kepada anaknya.
Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh tim penerjemah Potowa Center.
Oktober 2011.

Tidak ada komentar: