Kamis, 14 Mei 2015

Kisah Tentang Kurban

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA)
Dalam sebuah naskah Sanskerta kuno dikatakan bahwa suatu ketika Bodhisattva pernah dilahirkan di keluarga kerajaan agung dan beliau mewarisi takhta kerajaan ayahnya secara sah. Kedudukan ini beliau peroleh dari potensi-potensi positif yang telah dilakukannya di kelahiran lampau.
Seperti kita ketahui, seringkali jika seorang raja adalah baik dan bajik, maka negeri di bawah pimpinannya juga menjadi baik atau sebaliknya — jika rakyat dalam suatu negeri berperilaku baik maka mereka akan memiliki seorang raja yang baik. Demikianlah yang terjadi di kerajaan yang dipimpin oleh Bodhisattva ini. Tidak ada percekcokan, tidak ada wabah penyakit, dan yang ada hanyalah kedamaian dengan semua kerajaan di sekitarnya. Raja bagaikan seorang Muni dalam hidupnya, teladan baiknya diikuti oleh semua orang yang ada di sekitarnya, dan cahaya kebajikan memancar dari singgasananya, menyinari hati rakyatnya.
Suatu waktu, terjadi malapetaka yang sangat menyulitkan kondisi di negeri ini. Tiada yang tahu apakah orang-orang telah melakukan sesuatu yang keliru atau karena para dewa hujan sedang marah. Musim kemarau yang berpanjangan dan mengerikan terjadi dan semua menderita kekeringan. Sumur-sumur mengering, tumbuh-tumbuhan mulai menjadi layu, dan wabah penyakit mengancam.
Raja khawatir apakah ia atau rakyatnya telah mengabaikan kewajiban religious tertentu sehingga kemarau berpanjangan ini muncul sebagai akibatnya. Oleh karena itu, beliau berkonsultasi dengan para pendeta kerajaan, para Brahmana, dan menteri-menteri untuk mencari tahu apa yang dapat dilakukan untuk mengakhiri malapetaka ini. Ahli ajaran Veda mengatakan bahwa untuk mendatangkan hujan, perlu dilakukan kurban hewan yang banyak. Karena mereka membaca kitab-kitab Veda bahwa kurban hewan demikian telah mendatangkan hujan di masa lampau. Raja sangat kaget atas saran tersebut. Beliau tidak menjawab tetapi berusaha mengarahkan pemikiran para penasehatnya pada hal-hal yang lain.
Namun mereka tidak puas dan membantah, “Baginda harus memastikan agar tidak melalaikan tugas-tugas kerajaan. Mengapa Baginda tidak setuju untuk melakukan kurban hewan ini, yang merupakan penghubung menuju dunia para dewa?”
Kemudian mereka berkata kepada raja: “Baginda menjalankan kewajiban-kewajiban terhadap para leluhur, pada Rishi, dan para bijaksana, serta terhadap manusia, namun mengapa tidak terhadap pada dewa dengan melakukan kurban hewan? Oleh karena itu, pertimbangkanlah kesejahteraan rakyat Baginda dan lakukanlah upacara kurban sejumlah hewan untuk para dewa, sehingga kita mendapatkan hujan.”
Raja berpikir “Bagaimana mungkin pembunuhan hewan dapat menyenangkan para dewa, yang terbiasa hidup dari amrita? Tentunya pembunuhan tidak mungkin ada hubungannya dengan kebajikan! Dan hewan-hewan dibunuh sementara para Brahmana membaca doa, yang tujuannya adalah untuk membawa para hewan menuju surga. Lalu mengapa para Brahmana tidak mempersembahkan diri mereka sendiri sebagai kurban, karena bukankah mereka ingin ke surga? Hewan-hewan tidak ditanya apakah mereka mau dikurbankan dan mereka belum menghentikan tindakan-tindakan negatif mereka sebelum dikurbankan, jadi bagaimana mungkin kematian dapat membantu mereka mencapai surga? Tidak! Jika ada ajaran-ajaran seperti ini, maka itu keliru. Saya akan memilih solusi lain untuk keluar dari malapetaka ini.”
Setelah mempertimbangkan hal ini, Baginda berkata kepada para penasehatnya: “Dengarkanlah keputusan saya. Saya tidak hanya akan memerintahkan agar dilakukan kurban hewan, tetapi saya juga akan melakukan kurban manusia. Petugas-petugas saya di seluruh bagian negeri ini akan mengumpulkan kurban-kurban yang layak untuk dikurbankan. Para ahli nujum akan menentukan hari yang tepat, ketika posisi bulan dan bintang menguntungkan. Lakukanlah semua persiapan untuk menyambut pengurbanan besar ini.”
Para pendeta dan para penasihat sangat terkejut, karena mereka tidak menduga keputusan ini. Mereka berkata, “Jika seribu manusia ditangkap dalam satu gebrakan, rakyatmu akan memberontak Baginda. Oleh karena itu, lakukanlah satu pengurbanan manusia dulu, kemudian baru selanjutnya secara bertahap.”
Raja menjawab: “Jangan takut akan pemberontakan rakyatku. Libatkan saya pada pertemuan dengan orang-orang kota dan desa, saya sendiri yang akan menyampaikan hal ini pada mereka.”
Lalu diadakanlah sebuah pertemuan besar dan raja berbicara kepada rakyatnya dengan hikmat, “Musim kemarau ini berkepanjangan dan kalian telah memohon saya mengupayakan cara terbaik untuk mengakhirinya; oleh karena itu saya bermaksud membuat sejumlah kurban manusia kepada para dewa.
Tetapi mereka yang jujur, bermurah hati, dan yang tidak berselisih dengan keluarganya atau memiliki sifat yang bajik; tidak perlu takut untuk dijadikan kurban. Saya akan mengirim utusan yang jujur dan berpandangan jauh ke dapan, ke semua bagian negeri ini. Mereka akan dikenal dari pakaian mereka dan mereka akan mengamati tingkah laku kalian serta memberi laporan pada saya. Siapapun yang ditemukan bersalah oleh para pengawas ini, akan dibawakan kepada saya untuk dikurbankan. “Dengarkanlah rakyatku, inilah titahku!”
Orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan agak cemas, namun mereka semua bertekad untuk melakukan hal yang baik agar mereka tidak dijadikan kurban. Raja mengirim para petugas dan dengan pukulan genderang, hal ini setiap hari dikumandangkan ke seluruh kota dan desa bahwa para pelaku ketidakbajikan akan dibawa ke hadapan raja untuk dikurbankan, dan tindakan negatif mereka sendiri akan membawa mereka pada tempat pengurbanan.
Ketika orang-orang melihat para petugas raja ada di mana-mana dan mendengar pengumuman tersebut setiap hari, mereka mulai mengubah tindakan-tindakan mereka – pertikaian berhenti, keramahtamahan dijalankan di mana-mana, sikap baik dan kerendahan hati muncul di mana-mana, kepatuhan terhadap orang tua dan guru-guru terlihat di setiap rumah, begitu pula penghormatan kepada para dewa dan orang-orang yang tua. Seluruh masyarakat di negeri tersebut hidup seperti di masa Kreta-Yuga (masa dimana seluruh masyarakat berperilaku baik). Rasa takut akan kematian telah mengingatkan mereka semua pada semua kebajikan yang telah mereka lupakan sebelumnya, dan dalam waktu singkat semua orang bertingkah-laku dengan cara yang sangat baik.
Namun para utusan tidak lengah dalam pengawasan mereka dan orang-orang harus terus menjalankan hidup yang bajik. Ketika raja mendengar dari para utusannya bahwa mereka tak dapat menemukan satu pun pelaku yang tidak bajik, beliau sangat gembira dan memberikan mereka hadiah yang berlimpah atas berita-berita baik yang mereka sampaikan. Dan beliau mengumpulkan para menteri dan berkata, “Tiada satu pun pelaku yang tidak bajik di negeriku. Karena orang-orang berperilaku bajik, maka merekalah yang layak menerima pengurbanan; jadi biarkanlah saya melakukan pengurbanan dengan cara saya sendiri. Kumpulkan mereka yang miskin, yang buta, dan yang pincang, dan saya akan membagikan hadiah, agar kemiskinan menghilang di negeri ini.”
Para menteri mendirikan tempat-tempat untuk orang miskin di mana-mana dan yang miskin mendapatkan makanan dan pakaian. Kebahagiaan dan kesejahteraan menyebar ke seluruh penjuru dan orang-orang tidak lagi melakukan cara-cara dan tindakan-tindakan yang tidak bajik. Wabah penyakit dan semua penyakit menghilang. Angin musim menurunkan hujan secara teratur; sumur-sumur dan sungai-sungai berlimpah dengan air yang bersih dan jernih, padi-padi tumbuh subur, dan tanaman-tanaman obat menghasilkan khasiat penyembuhan bagi seluruh rakyat.
Oleh karena, melalui daya kekuatan dari raja yang baik dan keagungan dari pengurbanan yang dilakukan dengan caranya sendiri, negerinya terselamat dari semua kesulitan dan rakyatnya hidup dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka mendoakan raja yang sangat bajik tersebut atas semua yang telah beliau lakukan dan mereka tidak lupa bahwa jika mereka mulai berperilaku negatif lagi, maka mereka akan ditangkap dan dikurbankan, seperti telah diumumkan oleh raja mereka berulang kali.
Selama mengumumkan bahwa kurban akan dilakukan, raja melepaskan pakaian kebesarannya dan mengenakan kulit rusa hitam sebagai pakaiannya. Beliau juga melepaskan payung kerajaan dan mahkotanya, berpotongan rambut seperti mereka yang melakukan upacara kurban yang besar, seperti cara-cara yang dijelaskan dalam kitab-kitab Veda. Begitulah beliau menjalankan hidupnya dan rakyatnya memuja beliau seperti seorang dewa.
Teladannya juga mempengaruhi raja-raja lainnya untuk memperbaiki negerinya dan lebih memperhatikan rakyatnya. Karena kemashyuran dari raja yang sangat baik, kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya menyebar luas ke seluruh dunia timur.
Kebaikan hati yang tulus, kebijaksanaan, dan kebajikan terilustrasi dalam cerita ini mengenai salah satu kehidupan Bodhisattva, yang sedang mengupayakan jalan menuju kesempurnaan, untuk menjadi “Buddha,” Penyelamat bagi rakyatnya.
Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh tim penerjemah Potowa Center.

Tidak ada komentar: